Kamis, 29 Mei 2014

Asal usul Batu Hobon






Dolok Pusuk Buhit adalah satu tempat yang banyak menyimpan cerita bersejarah, Pusuk Buhit terletak di Desa Limbong-Sagala, Kecamatan Sianjur Mula-mula, Kabupaten Samosir, berjarak sekitar 11-12 km dari Pangururan.
Menurut kepercayaan masyarakat Batak, Pusuk Buhit adalah sebagai tempat asal-muasal seluruh Suku Batak tepatnya di Sianjur Mula-Mula. Dalam perkembangannya, nenek moyang Suku Batak menyebar ke Desa Nawalu (delapan penjuru mata angin). Pada perbatasan Kampung Sagala dan Limbong (Sibumbung rumah) terdapat sebuah tempat keramat yang dianggap sakral bagi masyarakat setempat, bernama “Batu Hobon”. Dinamai batu ini batu hobon tentu dengan satu alasan bahwa batu ini berbentuk seperti hobon (peti) dan tutupnya berbentuk Cinta (Love). Menurut kepercayaan Batak batu ini merupakan sebuah lorong yang berbentuk goa dan punya tembusan ke berbagai tempat lain. Dulunya di tempat ini kerap diadakan upacara sakral yang masih berlanjut hingga sekarang. Upacara itu diyakini sebagai penghormatan pada roh leluhur sekaligus menerima pewahyuan dari nenek moyang dan biasanya di lakukan di sipaha muda di hari Anggara Sampulu. Batu Hobon ini sebenarnya peninggalan Ompu Guru Tatea Bulan dan juga sebagai tempat akhir hayatnya. Dan Pusuk Buhit sebagai jalan/jembatan tempat turunnya Mulajadi Nabolon (Tuhan Yang Maha Esa) untuk mendatangi kampung Si Raja Batak yang pertama. Sebagian mengatakan di Batu Hobonlah Raja Batak memulai kehidupannya, tapi menurut saya jelas tidak, mereka tetap di Sianjur Mula-mula di kampung Sagala Huta Urat, setelah berkeluarga baru keturuna si raja Batak mulai bergerak dari Sianjur Mula-mula. Keturunan Si Raja Batak memiliki dua orang anak, tetapi sebagian orang berkata 3 orang (Hal-hal seperti ini yang mencoba memasukkan unsur lain dalam silsilah,hal ini bisa menyesatkan generasi muda yang tidak tau apa-apa, karena jelas-jelasnya di bendera kerajaan batak ada 2 keturunan Si Raja Batak). Kedua putra Raja Batak itu bernama Guru Tatea Bulan dan Raja Isombaon=Sumba. Keturunan Guru Tatea Bulan lima orang putra dan lima orang putri. Kelima putranya bernama: Raja Biak-biak (Saurmatua), Tuan Saribu Raja, Limbong Mulana, Sagala Raja dan Silau Raja. Sedangkan Raja Ni Sumbaon punya anak 3 yaitu Tuan Sori mangaraja, Songkar Somalindang dan Raja Asi-Asi. keturunan mereka lah asal muasal semua marga-marga Batak muncul dan menyebar ke seluruh penjuru. Sebagian mengatakan Batu Hobon adalah buah tangan Raja Uti untuk menyimpan harta kekayaan orang Batak, berupa benda-benda pusaka dan alat-alat musik. Diyakini pula, di dalam Batu Hobon ini tersimpan Laklak (sejenis kitab) yang berisi ajaran dan nilai-nilai luhur. Berdasarkan pewahyuan yang datang pada keturunannya, diperkirakan pada suatu saat, benda-benda yang tersimpan dalam batu itu akan di keluarkan sendiri oleh Raja Uti yang menurut kepercayaan Batak Raja Uti tidak pernah mati. Uti soramate-Uti Soramatua (yang tidak pernah habis dan tidak peernah pupus). Dia akan tetap hidup dalam pribadi-pribadi pilihan yang tentu saja yang disukainya. Tapi menurut cerita orang tua, tentu ini bukanlah buah tangan Raja Uti, ini kerjaan Tuan Saribu Raja. Tuan Saribu Raja, Takut tidak mendapat warisan sebab perbuatannya yang melanggar norma Adat pada saat itu, dia menyembunyikan pusaka yang menurutnya bagiannya, sebelum minggat dari Huta Parik Sabungan. Sementara Raja Biak-Biak (Raja Uti) pada saat itu yang tinggal di kaki dolok pusuk buhit Di batu martindi dekat Aek Inggar berdekatan Aek Malum dan Aek Rangat (3 mata Air) yang di atas Huta parik Sabungan limbong, dan sekarang di bilang orang dekat Batu Sawan, sudah terbang ke Ujung Barus, setelah Penciptaan Ke-2 atas dirinya oleh Mula Jadi Nabolon. Di atas Batu Hobon terdapat Sopo Guru Tatea Bulan yang dibangun tahun 1995 oleh Dewan Pengurus Pusat Punguan Pomparan Guru Tatea Bulan. Bangunan ini terdapat di Sihelleng di bawah dataran Tanah Sigulatti di kaki Pusuk Buhit dan di dalam bangunan terdapat sejumlah patung keturunan Raja Batak berikut dengan patung sejumlah kendaraan si Raja Batak dan pengawalnya. Kendaraan itu antara lain naga, gajah, singa, harimau dan kuda. Jejak sejarah di Tanah Batak itu yang sering dilupakan pemerintah. Selain itu, di desa ini terdapat cagar budaya berupa miniatur Rumah Si Raja Batak. Dahulunya, sebutan Raja Batak ternyata bukan karena posisinya sebagai raja dan memiliki daerah pemerintahan, melainkan lebih pada penghormatan terhadap nenek moyang Suku Batak. Di perkampungan ini, ada bangunan rumah semitradisional Batak, yang merupakan rumah panggung terbuat dari kayu, tanpa paku, dilengkapi tangga, dan atap seng. Adapun Harta Pusaka di Batu Hobon menurut sebagian orang adalah: 1. Gondang Saparangguan (Seperangkat Gendang Batak), 2. Pagar (Ramuan penangkal penyakit), 3. Hujur sumba baho (tombak bertuah), 4. Piso solom Debata (pedang bertuah), 5. Pungga Haomasan (Batu Gosok Emas), 6. Tintin Sipajadi-jadi (Cincin Ajaib), 7. Tawar Sipagabang-abang, Sipagubung-ubung, Sipangolu na Mate, Siparata Naung Busuk (Obat yang mampu menghidupkan yang sudah mati, serta menyegarkan kembali yang telah busuk). Pagar, Hujur Sumba Baho, Piso Solom Debata, Pungga Haomasan, Tintin Sipanjadi-jadi dan Tawar, semua dibungkus dengan buku lak-lak atau buku Pustaha, yaitu Buku Ilmu Pengetahuan tentang kebudayaan Batak, yang di tulis dengan aksara Batak. Peti Batu tempat penyimpanan harta pusaka inilah yang disebut Batu Hobon (Peti Batu) karena Hobon artinya Peti. Keanehannya : Sudah tiga kali orang berusaha untuk membuka Batu Hobon ini namun ketiga-tiganya gagal, dan orang yang berusaha membuka itupun serta merta mendapat bala dan meninggal dunia. Pertama : Pada zaman penjajahan Belanda, ada seorang pejabat Pemerintah Belanda dari Pangururan, berusaha untuk membuka batu Hobon, dia berangkat membawa dinamit dan peralatan lain, serta beberapa orang personil. Pada saat mereka mempersiapkan alat-alat untuk meledakkan Batu Hobon itu dengan tiba-tiba datanglah hujan panas yang sangat lebat, disertai angin yang sangat kencang, serta petir dan guntur yang sambung menyambung, dan tiba-tiba mereka melihat ditempat itu ada ular yang sangat besar dan pada saat itu juga ada berkas cahaya (sinar) seperti tembakan sinar laser dari langit tepat keatas Batu Hobon itu, maka orang Belanda itu tiba-tiba pingsan, sehingga dia harus di tandu ke Pangururan, dan setelah sampai Pangururan dia pun meninggal dunia. Kedua : Pada masa pemberotakan PRRI, ada seorang tentara yang berusaha untuk membuka Batu Hobon ini, menembaki Batu Hobon itu dengan senapan, tetapi sampai habis persediaan pelurunya Batu Hobon itu tidak mengalami kerusakan apa-apa, bahkan si Tentara itu menjadi gila dan dia menjadi ketakutan dia berjalan sambil berputar-putar, serta menembaki sekelilingnya, walaupun peluru senapannya sudah kosong, dan tidak berapa lama, si Tentara itupun meninggal dunia. Ketiga : Pernah juga ada orang yang tinggalnya di daerah Sumatera Timur, berambisi untuk mengambil Harta Pusaka yang ada dalam Batu Hobon ini, sehingga mereka berangkat kesana dengan beberapa orang personil, membawa peralatan untuk membuka dan memecahkan batu. Mereka sempat membuka tutup lapisan yang paling atas, tetapi dengan tiba-tiba mereka melihat ular yang sangat besar di Batu Hobon itu sehingga mereka lari terbirit-birit dan gagallah usaha mereka untuk membuka Batu Hobon itu dan tidak berapa lama pimpinan rombongan itupun meninggal dunia dan anggota rombongan itupun banyak yang mendapat bala. Tutup Batu Hobon yang terbuka itu, sempat mengundang keresahan bagi tokoh masyarakat Tapanuli Utara sehingga datanglah ratusan murid-murid Perguruan HKI dari Tarutung yang dipimpin oleh Bapak Mangantar Lumbantobing, untuk memasang kembali tutup Batu Hobon yang sempat terbuka itu. Pada mulanya tutup batu itu tidak dapat diangkat, walaupun telah ratusan orang sekaligus mengangkatnya, tetapi barulah setelah diadakan Upacara memohon restu penghuni alam yang ada di tempat itu yang dipimpin oleh salah seorang pengetua adat dari limbong, maka dengan mudah, tutup batu itu dapat diangkat dan dipasang kembali ketempat semula.

Rabu, 28 Mei 2014

Silalahi adalah salah satu marga Batak. Dipastikan asal muasal marga Silalahi tentu berasal dari nama tanah kelahiran mereka yaitu Silalahi Nabolak. Silalahi Nabolak merupakan bius milik kelompok keturunan Raja Silahisabungan. Di Silalahi Nabolak, Raja Silahisabungan awalnya memiliki Delapan (8)anak, yaitu: Loho Raja, Tungkir Raja, Sondi Raja, Butar Raja, Dabariba Raja, Debang Raja, Batu Raja dan Tambun Raja. Kedelapan (8) anak Silahisabungan ini terlahir dari 2 istri. Tujuh (7) anak pertama berasal dari istri Raja Silahisabungan yang pertama bernama Pinggan Matio Padangbatanghari, sedangkan satu (1) anak terakhir (Tambun Raja) terlahir dari istri Raja Silahisabungan yang kedua yaitu Siboru Nailing Nairasaon.
Dari kedelapan (8) anak-anak Raja Silahisabungan diatas, tujuh (7) diantaranya berkembang di tanah (bius) yang dinamakan Silalahi Nabolak (otonomi Dairi: sekarang), sedangkan satu (1) lainnya, yaitu Tambun Raja, memilih kembali menemui ibunya dan menetap / tinggal disana, di negeri Sibisa Toba (Porsea. Di Sibisa, Tambun Raja lebih familiar disebut Raja Tambun). Ia menikah dengan putri pamannya sendiri (klan Manurung) dan memiliki keturunan Marga Tambun. Salah satu keturunan marga Tambun (Tambun Koling) di Toba Balige kemudian menurunkan marga Tambunan bagi keturunannya.
Setelah perkembangan beberapa dekade, keturunan tujuh (7) tujuh putra Raja Silahisabungan pun kemudian berkembang dan mencari (merantau) ke daerah baru, keluar dari teritori Silalahi Nabolak. Para keturunannya yang keluar dari Silalahi Nabolak ini umumnya kemudian memakai marga mereka menjadi Silalahi, sesuai nama nama negeri leluhur mereka, yaitu Silalahi Nabolak. Mereka juga menyebut mereka sebagai orang-orang (dari) Silalahi. Di Balige, Marga Silalahi adalah keturunan Raja Parmahan Silalahi, klan Sondi Raja. Di Samosir, marga Silalahi terdiri dari keturunan dari beberapa marga, antara lain: Sihaloho, Situngkir dan Sidebang. Si Tanah Pakpak, Tanah Karo dan Tanah Simalungun, marga Silalahi umumnya terdiri dari keturunan Raja Silahisabungan, seperti Sihaloho, Situngkir, Sidabutar, Sidabariba, Sigiro, Pintubatu, Sidebang.

asal mula silalahi

Didalam mempelajari dan menelusuri suatu sejarah Kejadian yang berlangsung sudah lewat, kita harus mempelajari Historical culture pada era itu juga, karena kalau kita bawa ke pemikiran dan era kita sekarang ini, akan beda dan jauh hasilnya, dan kebanyakan tdk masuk akal.
Mis: Kenapa sampai Mertua Laki-laki tdk bisa menolong menantu perempuan walau jatuh di depannya?
Kenapa seorang Istri dari abang/adek istri kita tdk bisa salaman sama kita (marbao) dan sebaliknya
tentu ini jika di hubungkan era saat ini sangat janggal dan tdk toleran, tapi kalau era dulu itu adalah sangat lumrah dan sopan dan ada latar belakangnya.

Menelusuri perdebatan mengenai asal marga SILALAHI apakah berasal dari nama SILAHISABUNGAN atau dari nama anaknya yakni SILALAHI (SILAHI RAJA)?
Tentu dalam mengetahui hal ini kita harus banyak belajar tentang Historical Culture yang berlangsung dalam era itu di Suku Batak karena Silahisabungan adalah orang BATAK tulen.
Didalam sejarah Suku Batak dari dulu hingga saat ini masih terpelihara penyebutan nama orang tua adalah hal yang sangat Tabu dan sakral, dan tak bisa disangkal sering terjadi perkelahian apabila menyebut nama Orangtua seseorang dengan sembarangan.
Adapun sebutan atau panggilan kepada seorang Orang Tua hingga zaman saya lahir 1970 adalah berdasarkan Gelar atau nama anak pertama.
Seperti ayah saya Tidak pernah ada yg menyebutkan namanya yang sebenarnya di paradatan atau sehari-hari, tapi selalu memanggil “Kompi” (gelar) karena ayah saya Komandan Peleton di Jajaran ABRI waktu itu atau dengan Panggilan nama anaknya yang pertama.
Tentu dgn mempelajari Historical Culture di bangsa batak bisa di pastikan nama Silahisabungan, sebagai seorang Tabib besar dan terkenal tdk mungkin orang berani menyebut atau memanggil namanya sembarangan, makanya dia selalu dipanggil dengan Amang Silalahi karena anaknya yang pertama adalah bernama Silalahi yang menjadi Anak Panggoarinya.
Dan adat turun temurun di suku Batak, anak Pertamalah yang meneruskan kekuasaan/Warisan, makanya Huta dan Tao yang dipukka Silahisabungan disebut Silalahi karena dialah anak Pertamanya. Seandainya nama lain anak pertamanya pasti disebut sesuai dgn nama anak tersebut.
Jadi mari kita pilah-pilah dengan cermat dan pakai logika serta nalar yang cermat agar jangan salah menafsirkan hingga menjadi bias yang tidak berkesudahan.

Horas.